hidup mahasiswa

Sungguh bukan karena predikat sebagai kaum berpendidikan yang mengharuskan kita bergerak. Bukan pula lantaran gelora darah muda kita. Kawan, ada panggilan yang menghunjam di hati yang tidak mungkin kita padamkan dengan ambisi menjadi mahasiswa berprestasi. Sebuah panggilan yang menyentuh nurani kita, yang terlanjur kita lupakan: memimpin. Karena hakikatnya kita adalah pemimpin, dengan atau tanpa kekuasaan di genggaman.

Tapi kawan, keniscayaan untuk menjadi pemimpin kadang bukan tanpa aral. Teramat banyak kakak-kakak kita yang dulu bersuara lantang, kini memilih bungkam di pusara jabatan. Kenyataan yang membuat pesimisme pun segera hadir, terlebih masyarakat masih gelap mata untuk menuding kita adalah para idealis karena belum di pentas kekuasaan.

ngin rasanya diri ini hanya menjadi warga negara ‘normal’. Menyaksikan, merasakan, tapi mendiamkan segala pahit praktik penyelewengan. Ya, asalkan kepentingan tidak diusik. Tapi , lagi-lagi suara di hati ini bergemuruh. Melawan ketakutan untuk tunduk pada cibiran, ejekan, atau kelak godaan yang kian menyilaukan.

Ini bukan karena kita sudah lebih baik atau pasti lebih hebat, Kawan. Bukan, bukan karena itu. Karena kita hanya harus merawat mimpi: mimpi-mimpi anak muda dari bangsa yang terancam bangkrut oleh ulah pemimpinnya, Kita hanya ingin mewujudkan Indonesia baru yang lebih berkeadilan dan menyejahterahkan warganya. Walau kau anggap ini seperti menegakkan benang basah, inilah medan untuk menempa diri kita, Kawan.




Kawan, inilah pilihan kita. Bungkam itu bukan putusan tepat, ketika negeri ini gaduh oleh suara politisi jahat. Bersuaralah, atau negerimu ini bakal jatuh kepada para bedebah !
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar